MEDAN — Bagi masyarakat Batak Toba, kematian tidak dipandang sekadar akhir kehidupan, melainkan perpindahan roh menuju alam yang lebih tinggi.
Dalam tradisi yang telah diwariskan turun-temurun itu, terdapat sebuah prosesi sakral bernama Mate Mangkar, upacara penghormatan adat yang dilakukan setelah seseorang meninggal dan sebelum jenazah dikebumikan.
Mate Mangkar bukan sekadar seremoni budaya. Ia menjadi penegasan betapa kuatnya sistem kekerabatan Batak Toba yang berakar pada prinsip Dalihan Na Tolu: Hula-hula, Dongan Tubu, dan Boru.
Baca Juga: Pencak Silat Kini Jadi Senam Kebudayaan Indonesia, Menbud Fadli Zon Dorong Generasi Muda Aktif Ketiganya hadir sebagai simbol bahwa duka bukan hanya menjadi tanggung jawab keluarga inti, tetapi seluruh jaringan kerabat.
Makna Filosofi di Balik Mate Mangkar
Dalam pandangan masyarakat Batak Toba, Mate Mangkar merupakan wujud kasih sayang, penghormatan, dan penghargaan terakhir atas kehidupan seseorang.
Prosesi ini diyakini membantu perjalanan roh menuju alam rohani. Doa, ulos, gondang, hingga kata-kata penghiburan menjadi bahasa spiritual yang menghubungkan yang hidup dan yang telah tiada.
"Hubungan itu tidak terputus oleh kematian," ujar salah seorang tokoh adat Batak Toba. "Mate Mangkar memastikan penghormatan tetap mengalir hingga akhir."
Rangkaian Prosesi Mate Mangkar
Upacara Mate Mangkar digelar melalui beberapa tahapan yang terikat aturan adat, antara lain:
1. Panoppa (Pemberitahuan Kematian)Keluarga menyampaikan kabar duka kepada kerabat dan masyarakat sekitar. Pada tahap ini, struktur Dalihan Na Tolu mulai memberikan dukungan moral dan tenaga.
2. Kehadiran Hula-hulaSebagai pihak yang paling dihormati, hula-hula hadir memberi restu, doa, serta penguatan. Kehadiran mereka menjadi syarat sahnya rangkaian adat.