JAKARTA – Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang akan berlaku pada awal 2025 menimbulkan berbagai kekhawatiran terkait dampaknya terhadap sektor pariwisata. Meski sektor ini menunjukkan perkembangan positif pasca-pandemi Covid-19, masih banyak pihak yang menilai bahwa kebijakan ini dapat memperlambat pemulihan industri yang belum sepenuhnya pulih.
Direktur Pusat Studi Pariwisata Universitas Andalas, Sari Lenggogeni, mengungkapkan bahwa sektor pariwisata di Indonesia dan dunia masih berusaha mencapai titik balik pasca-pandemi. “Belum ada satupun negara di dunia ini yang mencapai 100 persen titik balik pasca Covid-19,” ujar Sari dalam wawancara, Rabu (18/12/2024). Ia menjelaskan bahwa indikator-indikator seperti jumlah wisatawan, pengeluaran wisatawan, dan dampak ekonomi belum sepenuhnya normal.Kenaikan PPN yang diberlakukan pada awal 2025 dikhawatirkan akan menekan daya beli masyarakat, terutama pada segmen wisata menengah ke bawah. Dengan adanya kebijakan ini, sektor pariwisata yang selama ini menjadi kebutuhan utama untuk relaksasi dan hiburan, berpotensi menjadi sektor sekunder. Sari Lenggogeni mengatakan, “Dengan pemberlakuan PPN 12 persen ini, otomatis pariwisata itu kan ekosistem dari bottom up sampai ke grass root. Ini akan menurunkan daya beli, kemudian juga menjadikan sektor pariwisata itu bukan lagi sektor utama.”
Menurut Sari, dampak dari kenaikan PPN bisa memberikan efek berantai (reverse multiplier effect) di sektor pariwisata. Sektor ini, yang telah menunjukkan pertumbuhan signifikan dalam dekade terakhir sebelum Covid-19, kini berpotensi tertekan akibat kenaikan biaya yang bisa mengurangi minat berwisata. “Pariwisata itu bukan hanya sekadar mengunjungi destinasi, tapi pembelanjaan wisatawan yang dihitung mulai dari transportasi, hotel, restoran, makanan, hingga belanja souvenir dan hal itulah yang akan terdampak,” tambahnya.Dampak kebijakan PPN 12 persen tidak hanya menyentuh langsung wisatawan, namun juga seluruh ekosistem industri pariwisata, mulai dari sektor akomodasi, restoran, transportasi, hingga UMKM yang menyediakan kebutuhan dasar untuk wisatawan. Menurut Sari, kenaikan biaya akan mempengaruhi seluruh proses yang ada di dalam industri pariwisata, bahkan berpotensi mengurangi tenaga kerja atau menyebabkan restrukturisasi perusahaan.”Industri pariwisata itu punya manajemen sistem perusahaan, SDM, hingga UMKM yang menyediakan kebutuhan bahan mentah. Jadi, prosesnya itu akan terdampak,” ujar Sari. Dampak ini, kata dia, akan terasa mulai dari lapisan industri pariwisata kelas atas hingga lapisan bawah, yang pada gilirannya akan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat, khususnya di daerah-daerah yang sangat bergantung pada sektor ini.(JOHANSIRAIT)