JAKARTA, – Pertumbuhan transaksi keuangan digital di Indonesia semakin pesat.
Data Bank Indonesia mencatat nilai transaksi QRIS melesat menjadi Rp 659,93 triliun dari 6,24 miliar transaksi pada 2024, sementara transaksi uang elektronik naik 34,62 persen menjadi Rp 2,5 kuadriliun.
Namun, perkembangan ini tidak lepas dari risiko penipuan (scam) yang meningkat tajam.
Baca Juga: Bank Mandiri Perluas Pembayaran QRIS Tap In–Tap Out di KCI dan LRT Jabodebek Menurut laporan Indonesia Anti-Scam Center (IASC), tercatat 323.841 laporan penipuan selama setahun sejak peluncurannya pada November 2024.
Fenomena ini menuntut langkah pengamanan yang tepat agar pelaku industri dan pengguna terlindungi, tanpa memberatkan pihak manapun.
Salah satu regulasi yang diterapkan adalah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terbaru, yang mewajibkan penggunaan Tanda Tangan Elektronik Tersertifikasi (TTET) untuk transaksi berisiko tinggi, yaitu transaksi keuangan yang tidak dilakukan secara tatap muka.
Namun, kebijakan ini menuai kritik karena bisa menambah biaya operasional bagi industri maupun pengguna, serta berpotensi menghambat inklusi keuangan—terutama di wilayah tertinggal.
Para pakar menilai, titik paling rentan dalam transaksi elektronik adalah literasi digital dan keuangan masyarakat, bukan sekadar penggunaan data pribadi secara ilegal.
Oleh karena itu, solusi yang lebih efektif adalah memperkuat edukasi literasi digital, membangun sistem deteksi penipuan lintas sektor, serta memperkuat kolaborasi regulator dan industri melalui fraud database real-time, seperti inisiatif IASC.
Selain itu, pemerintah disarankan melakukan cost-benefit analysis dan penajaman definisi transaksi berisiko tinggi dalam revisi PP No. 71/2019 agar kebijakan TTET lebih tepat sasaran dan tidak menghambat inovasi di industri digital.
Dengan demikian, keseimbangan antara pengamanan transaksi elektronik dan peningkatan inklusi keuangan dapat tercapai, mendukung pertumbuhan ekonomi digital Indonesia yang ditargetkan meningkat 8 persen.*
(d/dh)