JAKARTA – Di tengah kekhawatiran bahwa pertumbuhan teknologi kecerdasan buatan (AI) akan memperburuk krisis iklim karena kebutuhan energi yang masif, sebuah laporan terbaru dari London School of Economics (LSE) justru menunjukkan sebaliknya.
AI dinilai memiliki potensi besar sebagai alat transformatif untuk mengurangi emisi karbon secara signifikan.
Dalam studi yang dipublikasikan di jurnal npj Climate Action bulan lalu, tim peneliti dari Grantham Research Institute on Climate Change and the Environment menilai bahwa manfaat AI dalam mengurangi emisi karbon jauh melampaui jejak karbon yang ditimbulkannya.
Menurut laporan tersebut, jika dimanfaatkan secara strategis, AI dapat membantu dunia mengurangi 3,2 hingga 5,4 miliar ton CO₂ per tahun pada 2035, setara dengan sekitar 10 persen dari total emisi global saat ini.
Sementara itu, emisi tambahan akibat penggunaan AI diperkirakan hanya berkisar antara 0,4 hingga 1,6 miliar ton setara CO₂ (GtCO2e).
Angka ini menunjukkan bahwa AI berpotensi menjadi alat dekarbonisasi yang jauh lebih besar daripada sumber emisinya sendiri.
"Dunia menghadapi peluang yang belum pernah ada sebelumnya untuk memanfaatkan AI sebagai katalisator bagi transisi menuju nol emisi karbon (net-zero)," kata Nicholas Stern, Ketua Grantham Research Institute, Selasa (15/7/2025).
Penelitian ini hanya mengkaji tiga sektor utama: listrik, pangan, dan transportasi, area yang dinilai sebagai ladang subur penerapan AI dalam mengurangi emisi.
Di sektor ini, AI berperan dalam:
- Mengoptimalkan jaringan listrik energi terbarukan
- Mendorong riset protein alternatif sebagai pengganti daging
- Meningkatkan efisiensi transportasi bersama dan logistik