JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai biaya politik di Indonesia masih sangat tinggi, sehingga kepala daerah terpilih kerap menghadapi tekanan besar untuk "mengembalikan modal politik" mereka.
Sayangnya, sebagian kepala daerah menempuh jalan ilegal, termasuk korupsi, untuk menutupi biaya tersebut.
Kasus terbaru yang menjadi sorotan adalah Bupati Lampung Tengah, Ardito Wijaya, yang diduga menggunakan dana hasil tindak pidana korupsi senilai Rp5,25 miliar untuk melunasi pinjaman bank yang sebelumnya dipakai untuk kampanye pada 2024.
Baca Juga: Uang Korupsi Bupati Lampung Tengah Digunakan untuk Lunasi Utang Pilkada 2024, KPK Ungkap Praktik ‘Mahar Politik’ "Fakta ini juga mengkonfirmasi salah satu hipotesa dalam kajian tata kelola partai politik yang sedang KPK lakukan, yakni tingginya kebutuhan dana partai politik," ujar Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, Minggu (14/12/2025).
Budi menjelaskan, tingginya biaya politik tersebut biasanya digunakan untuk pemenangan pemilu, operasional partai, hingga kegiatan internal partai seperti kongres dan musyawarah.
Beban biaya yang besar ini, menurut KPK, kerap mendorong kepala daerah terpilih melakukan praktik korupsi untuk menutupi pinjaman atau pengeluaran kampanye.
Sejak awal tahun, KPK telah menangkap tiga bupati dalam operasi tangkap tangan (OTT).
Ardito menjadi yang ketiga setelah Bupati Kolaka Timur, Abdul Azis, dan Bupati Ponorogo, Sugiri Sancoko.
Abdul Azis ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap proyek pembangunan fasilitas RSUD Kelas D/Pratama menjadi Kelas C di Kolaka Timur.
Sedangkan Sugiri diduga menerima suap terkait pengurusan jabatan, proyek, serta gratifikasi.
Kasus ini kembali menegaskan perhatian KPK terhadap praktik biaya politik yang berlebihan dan dampaknya terhadap korupsi di tingkat daerah.
Lembaga anti-rasuah menekankan pentingnya reformasi pendanaan politik dan penguatan transparansi dalam setiap tahap penyelenggaraan pemilu serta pengelolaan partai politik.*