JAKARTA — Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia (PPI), Adi Prayitno, menilai wacana koalisi permanen yang disuarakan Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia bukan sekadar gagasan politik biasa.
Menurut Adi, usulan itu merupakan manuver balasan terhadap pernyataan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar atau Cak Imin yang sebelumnya mengajak tiga menteri melakukan tobat nasuha pascaderetan bencana di Sumatera.
Adi menyebut ajakan tobat nasuha dari Cak Imin memiliki nuansa keras dan menyerempet ajakan "perang politik".
Baca Juga: PKS Respons Usulan Bahlil soal Koalisi Permanen: Lebih Baik Fokus Tangani Bencana "Yang disebut itu para ketua umum partai yang saat ini banyak disorot publik karena dinilai punya kontribusi atas kerusakan lingkungan di Sumatera," ujar Adi dalam diskusi Total Politik bertajuk Gejolak Jelang 2026: Dampak Politik Pisau Hukum Prabowo, di Jakarta, Sabtu, 6 Desember 2025.
Bahlil sebelumnya menyebut Cak Imin juga layak melakukan tobat nasuha.
Menurut Adi, respons tersebut menunjukkan bahwa kritik Cak Imin memantik reaksi silang antar-elite.
Adi menilai usulan koalisi permanen yang disampaikan Bahlil di hadapan Presiden Prabowo Subianto dalam HUT ke-61 Golkar merupakan pesan simbolik yang diarahkan kepada Cak Imin.
"Itu serangan balik bahwa jangan ada pihak yang dulunya rival, lalu kini merasa paling berjasa dalam pemerintahan," ujar Adi.
Ia menambahkan, Golkar bersama Prabowo berada di barisan pendukung sejak awal, berbeda dengan PKB yang bergabung di tengah jalan.
Wacana koalisi permanen, kata Adi, menandai batasan politik: siapa yang dianggap pengusung inti dan siapa pendatang baru dalam koalisi pemerintah.
Dalam acara Golkar, Bahlil menegaskan perlunya stabilitas dengan koalisi yang tidak "keluar-masuk". "Koalisi tidak boleh in-out. Koalisi harus solid," ujarnya.
Ajakan tobat nasuha dari Cak Imin sebelumnya dilontarkan dalam forum resmi Kemenko Pemberdayaan Masyarakat.