JAKARTA – Peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI) adalah salah satu momen paling kelam dalam sejarah Indonesia, yang hingga kini masih diingat dan diperingati. Pada malam 30 September 1965, Indonesia terjaga dari mimpi buruk ketika sekelompok orang yang tergabung dalam Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan tindakan yang mengguncang stabilitas negara. Peristiwa ini tidak hanya mengakibatkan jatuhnya banyak korban, tetapi juga mengubah arah sejarah bangsa.
Latar Belakang G30S/PKI
Untuk memahami G30S/PKI, kita perlu menelusuri akar permasalahan yang melatarbelakanginya. Ketegangan antara ideologi nasionalisme, agama, dan komunisme menjadi semakin jelas selama periode demokrasi terpimpin di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno. PKI, yang pada pemilu 1955 berhasil meraih 16,4% suara dan menjadi salah satu partai terbesar, menunjukkan pengaruh yang signifikan. Namun, ambisi mereka untuk menjadikan Indonesia sebagai negara komunis bertentangan dengan cita-cita Pancasila sebagai dasar negara.
Kondisi politik yang tidak stabil, ditambah dengan desas-desus mengenai kesehatan Presiden Soekarno dan konflik internal antara TNI AD dan PKI, menciptakan suasana yang mendorong pemberontakan ini. G30S/PKI dipimpin oleh DN Aidit, seorang tokoh penting dalam partai, yang menginginkan revolusi untuk menggulingkan pemerintahan yang ada.
Peristiwa G30S/PKI
Malam kelam itu, sekelompok orang yang tergabung dalam G30S/PKI menculik enam perwira tinggi TNI AD, termasuk Letnan Jenderal Ahmad Yani dan Mayor Jenderal R. Soeprapto, yang kemudian dibunuh dengan kejam. Tindakan brutal ini dirancang untuk menakut-nakuti lawan politik mereka dan menunjukkan kekuatan PKI. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.
Pemberontakan yang dimulai pada malam itu tidak hanya menewaskan para perwira, tetapi juga mengundang reaksi besar dari masyarakat dan tentara. Keesokan harinya, pada 1 Oktober 1965, ribuan rakyat Indonesia, terutama anggota TNI, bergerak untuk mengambil alih kembali kekuasaan.
Tujuan G30S/PKI
G30S/PKI memiliki tujuan ambisius untuk menggulingkan pemerintahan Soekarno dan menggantikan ideologi Pancasila dengan komunis. Sebagai partai komunis terbesar ketiga di dunia pada waktu itu, PKI berupaya mengkonsolidasikan kekuatan untuk mencapai tujuan tersebut dengan cara yang paling ekstrem. Namun, ketidakpuasan terhadap metode dan ideologi mereka justru mengundang penolakan yang massif dari masyarakat.
Peringatan G30S/PKI dan Hari Kesaktian Pancasila
Sejak pemerintahan Soeharto, setiap 30 September menjadi peringatan G30S/PKI, bertujuan untuk mengenang para korban dan mengingatkan pentingnya persatuan bangsa. Kegagalan gerakan ini mempertegas posisi Pancasila sebagai ideologi yang tidak hanya kuat, tetapi juga menjadi fondasi bagi keutuhan negara.
1 Oktober diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila, mengingatkan kita akan bahaya ideologi ekstrem yang dapat mengancam stabilitas negara. Peringatan ini tidak hanya sekadar ritual, tetapi menjadi pengingat akan nilai-nilai kebangsaan yang harus dijaga dan diteruskan kepada generasi mendatang.
G30S/PKI merupakan titik balik yang sangat penting dalam sejarah Indonesia. Peristiwa ini mengajarkan kita tentang betapa pentingnya menjaga persatuan dan mengingatkan kita akan bahaya ideologi yang dapat merongrong keutuhan bangsa. Pancasila sebagai dasar negara bukan hanya sekadar semboyan, tetapi sebuah komitmen untuk hidup dalam harmoni, saling menghormati, dan berjuang bersama demi masa depan yang lebih baik.
Dengan mengenang peristiwa ini, kita tidak hanya menghormati mereka yang telah menjadi korban, tetapi juga memperkuat tekad kita untuk melawan segala bentuk ekstremisme dan menjaga nilai-nilai Pancasila.
(K/09)