Mahfud MD Kritik Rencana Denda Damai untuk Koruptor, Sebut Itu Bertentangan dengan Hukum

BITVonline.com - Jumat, 27 Desember 2024 03:32 WIB

Warning: getimagesize(https://cdn.bitvonline.com/uploads/images/2024/12mahfud_md_merespons_penetapan_hasto_sebagai_tersangka-1meP_large.jpg): Failed to open stream: HTTP request failed! HTTP/1.1 404 Not Found in /home/u604751480/domains/bitvonline.com/public_html/amp/detail.php on line 170

Warning: Trying to access array offset on false in /home/u604751480/domains/bitvonline.com/public_html/amp/detail.php on line 171

Warning: Trying to access array offset on false in /home/u604751480/domains/bitvonline.com/public_html/amp/detail.php on line 172

JAKARTA -Mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, menegaskan ketidaksetujuannya terhadap rencana pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang mengusulkan penerapan denda damai bagi para koruptor. Menurut Mahfud, kebijakan ini bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku di Indonesia, terutama terkait dengan tindak pidana korupsi.

Mahfud mengungkapkan keheranannya atas usulan pemerintah yang hendak memberikan denda damai kepada koruptor yang mengakui perbuatannya dan mengembalikan aset yang dicuri. Ia menilai bahwa kebijakan semacam ini tidak hanya tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang ada, tetapi juga berpotensi menimbulkan praktik kolusi di kalangan aparat penegak hukum.

Mahfud menyampaikan pendapatnya saat ditemui di Kantor MMD Initiative, Jakarta Pusat, pada Kamis (26/12/2024). Menurutnya, memberi maaf atau “damai” kepada koruptor hanya akan merusak integritas penegakan hukum di Indonesia.

“Yang ini lagi, gagasan Pak Prabowo untuk kemungkinan memberi maaf kepada koruptor asal mengaku secara diam-diam dan mengembalikan kepada negara secara diam-diam. Itu kan salah,” tegas Mahfud.

Mahfud menambahkan, hukum pidana Indonesia, khususnya yang mengatur soal korupsi, tidak mendukung kebijakan semacam itu. Ia menjelaskan bahwa undang-undang korupsi dan hukum pidana secara umum tidak mengizinkan adanya penyelesaian damai, terutama dalam perkara korupsi. “Mana ada korupsi diselesaikan secara damai? Itu korupsi baru namanya kolusi, kalau diselesaikan secara damai. Dan itu sudah sering terjadi kan,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Mahfud menegaskan bahwa denda damai sebenarnya hanya berlaku untuk tindak pidana ekonomi tertentu, seperti perpajakan dan kepabeanan, bukan untuk kasus korupsi. Menurutnya, penegak hukum tidak seharusnya mencari dalil pembenar untuk kebijakan yang jelas-jelas bertentangan dengan hukum.

Sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM, Supratman Andi Agtas, mengungkapkan bahwa Presiden Prabowo memiliki hak untuk memberikan grasi atau pengampunan kepada para koruptor. Namun, ia juga menekankan bahwa keputusan tersebut tetap memerlukan pengawasan dari Mahkamah Agung (MA) untuk grasi, dan pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk amnesti.

Supratman juga menegaskan bahwa pengampunan terhadap koruptor tidak berarti membebaskan mereka dari hukuman. Sebaliknya, pemerintah tetap menekankan pentingnya proses pemulihan aset (asset recovery) dalam kasus korupsi. Menurutnya, jika pengampunan diberikan, maka pengembalian kerugian negara tetap harus menjadi prioritas utama.

“Pemberian pengampunan bukan dalam rangka membiarkan pelaku tindak pidana korupsi bisa terbebas. Sama sekali tidak. Karena yang paling penting, bagi pemerintah dan rakyat Indonesia, adalah bagaimana asset recovery itu bisa berjalan,” ujar Supratman.

Mahfud MD mengingatkan bahwa denda damai, yang digunakan dalam kasus perpajakan, bea cukai, atau kepabeanan, tidak bisa diterapkan begitu saja untuk kasus korupsi. Hal ini merujuk pada Pasal 35 Undang-Undang Kejaksaan Agung yang baru, yang mengatur bahwa denda damai hanya berlaku dalam kasus tindak pidana ekonomi tertentu, bukan dalam kasus tindak pidana korupsi.

“Jadi, menyongsong tahun baru ini, mari ke depannya jangan suka cari-cari pasal untuk pembenaran. Itu bahaya nanti setiap ucapan presiden dicarikan dalil untuk membenarkan itu tidak bagus cara kita bernegara,” ujar Mahfud.

Menurutnya, penegakan hukum harus tetap dilakukan dengan tegas, dan tidak ada ruang untuk membuat pengecualian bagi para koruptor.

Meski ada ruang bagi presiden untuk memberikan pengampunan atau grasi, Mahfud mengingatkan bahwa langkah tersebut harus melalui mekanisme pengawasan yang ketat dari lembaga-lembaga negara terkait, seperti MA dan DPR. Sebab, sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, kekuasaan presiden dalam hal ini tidak bersifat absolut, melainkan harus mempertimbangkan masukan dari dua institusi tersebut.

“Setiap keputusan yang diambil, apakah itu grasi, amnesti, atau abolisi, harus ada aspek pengawasannya. Tidak serta-merta presiden mengeluarkan tanpa pertimbangan kedua institusi tersebut,” tandas Mahfud.

Mahfud MD menegaskan bahwa kebijakan pengampunan atau denda damai untuk koruptor harus dilihat dengan hati-hati. Menurutnya, kebijakan semacam ini justru dapat melemahkan sistem hukum di Indonesia dan mendorong praktik kolusi antara penegak hukum dan pelaku kejahatan.

Sebagai penutup, Mahfud mengingatkan pemerintah untuk tidak mencari-cari dalil untuk membenarkan kebijakan yang bisa merusak prinsip-prinsip hukum di Indonesia. “Mari ke depannya kita berpegang pada prinsip bahwa hukum harus ditegakkan dengan adil tanpa pandang bulu,” pungkasnya.

(N/014)

Editor
:
Sumber
:

Tag:

Berita Terkait

Pemerintahan

Ramadan Meningkatkan Aktivitas E-Commerce: Peluang dan Tantangan bagi UMKM

Pemerintahan

Peredaran Uang Palsu Marak Jelang Lebaran, Dua Pelaku Ditangkap di Lembang

Pemerintahan

Modus Polisi Palsu: Dua Pria Ditangkap Usai Curi Barang Warga di Tanah Abang

Pemerintahan

Penyegelan 9 Lokasi di Gunung Geulis-Puncak: Zulhas Tegaskan Lahan Harusnya Perkebunan

Pemerintahan

Ketum KSJ Desak Polres Batu Bara Tindaklanjuti Laporan Masyarakat, Tegaskan Pelaku Kekerasan Seksual Harus Ditangkap!

Pemerintahan

Kasus Hilangnya Iptu Tomi Marbun: Keluarga Tuntut Keadilan Sementara Kapolres Naik Pangkat