Oleh: Ruben Cornelius.
MARI kita mulai dari logika paling dasar, yang bahkan tidak membutuhkan teori kebijakan publik.
Jika sebuah wilayah dilanda bencana, korban kekurangan pangan, dan bantuan beras tersedia untuk dibagikan, maka keputusan rasional adalah menerima dan mendistribusikannya. Titik.
Baca Juga: Bantah Pernyataan Wali Kota Medan, Bobby: Bantuan UEA Bukan Dipulangkan Tidak perlu jargon kedaulatan, tidak perlu tafsir geopolitik.
Namun justru logika elementer inilah yang ditabrak negara ketika 30 ton beras bantuan Uni Emirat Arab dikembalikan oleh Pemerintah Kota Medan atas instruksi pemerintah pusat.
Pada momen itu, kebijakan negara tidak lagi berbicara tentang penyelamatan manusia, melainkan tentang penyelamatan citra.
Beras bukan alat intervensi politik, bukan simbol ideologi asing, dan bukan instrumen tekanan internasional.
Ia adalah pangan dasar, yaitu sesuatu yang oleh Amartya Sen dalam bukunya yang berjudul Poverty and Famines disebut sebagai fondasi paling elementer dari keamanan manusia.
Ketika negara menolak pangan di tengah kelaparan pengungsi, yang dipertaruhkan bukan sekadar prosedur administratif, melainkan logika moral kebijakan itu sendiri.
Maka pertanyaan yang tidak bisa dihindari adalah:
ancaman apa yang sebenarnya sedang dihadapi negara, sehingga beras untuk korban bencana dianggap lebih berbahaya daripada risiko kelaparan massal?
Jawaban yang sering muncul adalah kedaulatan. Namun kedaulatan seperti apa yang sedang dibela?