Gerakan Anak Muda dan Politik Musiman

BITV Admin - Jumat, 19 Desember 2025 07:42 WIB
Mahasiswa dari berbagai kampus menggelar aksi demonstrasi satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Senin, 20 Oktober 20225. (foto: Adi Ibrahim/CNN)

Oleh:Martin Dennise Silaban.

DALAM beberapa tahun terakhir, anak muda di berbagai negara dari Eropa hingga Asia berkali-kali muncul sebagai aktor utama protes politik. Terbaru, Gen Z kembali menjadi aktor di balik mundurnya Perdana Menteri Bulgaria pada Kamis, 11 Desember 2025 lalu.

Pengunduran ini dianggap menjadi kemenangan politik pertama bagi Gen Z di Eropa. Penyebabnya ditengarai karena korupsi yang mengakar dan sikap nirempati para elit politik yang tak lagi tertahankan.

Baca Juga: PNBP dan Layanan Digital Jadi Penopang Kinerja Kemenkum 2025

Fenomena Gerakan Gen Z ini sudah lebih dahulu muncul di negara lain seperti seperti Maroko, Nepal, Kenya, Chile, Peru, Myanmar, Bangladesh, dan Filipina, termasuk Indonesia.

Kita menyaksikan pola yang sama, anak-anak muda tiba-tiba memenuhi jalanan, memenuhi ruang digital, mengajukan kritik, membuat petisi, mengorganisir ruang-ruang diskusi, dan bergerak melampaui batas-batas yang dibayangkan.

Namun, secepat kemunculannya, gerakan-gerakan ini kerap mereda. Grup WhatsApp menjadi sepi, akun Instagram komunitas berhenti diperbarui, dan ruang diskusi kembali sunyi.

Energi politik yang semula membuncah perlahan menguap. Publik pun buru-buru menyimpulkan bahwa gerakan anak muda bersifat musiman atau lebih sinis lagi, "bubar karena tak punya basis material dan sumber daya."

Benarkah demikian? Jika ditelusuri lebih jauh, naik-turunnya gerakan anak muda bukan terutama karena kelemahan mereka, melainkan karena sistem politik tidak pernah benar-benar siap menerima cara-cara baru generasi ini dalam berpolitik.

Ekosistem Gerakan Anak MudaSelama ini, kita menganggap bahwa turunnya gerakan adalah tanda kegagalan. Seolah aktivisme adalah garis lurus linier yang harus terus bergerak naik. Padahal aktivisme, terutama yang dipimpin generasi muda, bekerja seperti ekosistem yang memiliki musim, irama, dan siklus yang dipengaruhi oleh atmosfer politik.

Anak muda tidak berhenti bergerak karena mereka kekurangan dana semata, melainkan karena ruang untuk bergerak menyempit (shrinking space), bahkan menutup (closing-space) baik secara formal maupun kultural. Mereka bisa menangkap perubahan cuaca politik lebih cepat daripada generasi mana pun.

Mereka melihat pola represi digital, merasakan kapan sekolah atau kampus mulai mengawasi, kapan kritik berubah menjadi risiko, kapan negara menegaskan batasnya. Mereka peka terhadap tekanan yang bagi sebagian orang hanya terasa sebagai "suasana".

Karena itu, naik-turunnya gerakan bukanlah persoalan kapasitas internal, tetapi konsekuensi dari ruang sipil yang mengembang dan menyusut, dari peluang politik yang terbuka sebentar lalu tertutup lagi.


Editor
: Adelia Syafitri

Tag:

Berita Terkait

Opini

Dinamika Politik Golkar Sumut: Ijeck Plt Ketua, Datok Ilhamsyah Mundur

Opini

Logika Terbalik Negara dan Hilangnya Akal Sehat dalam Kebijakan Kemanusiaan

Opini

Rupiah Dibuka Menguat ke Rp16.715 per Dolar AS, Pelaku Pasar Tunggu Data Inflasi AS

Opini

Kapolres Gianyar Pimpin Upacara Hari Bela Negara ke-77, Tegaskan Nasionalisme Modern di Era Digital: Tak Hanya Angkat Senjata!

Opini

PNBP dan Layanan Digital Jadi Penopang Kinerja Kemenkum 2025

Opini

Misteri Surat Aceh ke PBB dan Penanganan Bencana