Oleh: Rindiani Aprillia Cauntesa, S.Si.
DI Afrika, jejak badak yang dulu mudah terlihat di sabana kini semakin jarang. Badak Putih (Ceratotherium simum), yang sebelumnya berjumlah puluhan ribu, kini tersisa sekitar 18.000 ekor, sedangkan Badak Hitam (Diceros bicornis) hanya sekitar 5.000 ekor.
Situasi di Asia bahkan lebih genting; bayangan Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) dan Badak Sumatra (Dicerorhinus sumatrensis) kian tersembunyi di balik hutan tropis yang lebat, dengan jumlah masing-masing diperkirakan kurang dari 80 ekor.
Baca Juga: Kejatisu: PT Ciputraland Tidak Terlibat Korupsi Lahan PTPN I Populasi kedua spesies ini sangat kecil, terfragmentasi, dan rentan, bahkan di dalam kawasan yang telah ditetapkan sebagai zona perlindungan resmi.
Status dilindungi secara internasional selama puluhan tahun ternyata belum cukup menjadi jaminan keselamatan bagi spesies purba ini.
Di Afrika, cula badak menjadi komoditas 'emas' bagi sindikat kriminal yang bekerja dengan presisi militer, sementara di Asia, ancaman kepunahan mengintai dalam senyap.
Meskipun benteng pertahanan telah dibangun di garis depan, fakta bahwa angka kematian terus terjadi menandakan adanya celah fatal dalam sistem keamanan kita melawan jaringan perdagangan satwa liar global.
Apakah metode yang kita andalkan selama ini sudah usang?
Keterbatasan Konservasi Tradisional
Selama puluhan tahun, konservasi badak mengandalkan strategi konvensional seperti, patroli di taman nasional, pemasangan kamera trap, dan intervensi fisik seperti pemotongan cula (dehorning).
Strategi-strategi ini memang penting untuk menjaga populasi, tapi terbukti memiliki keterbatasan yang serius.
Di Afrika, misalnya, Kruger National Park memiliki patroli bersenjata dan teknologi pengawasan modern, namun sindikat perdagangan cula badak tetap mampu menghindari pengawasan dengan cara-cara canggih, termasuk mengatur perburuan malam hari atau menyusup melalui jalur tersembunyi.