Oleh: Raman Krisna
SUMATERA kembali luluh lantak. Air bah menelan rumah, menelan jalan, menelan nyawa. Kita menghitung korban dengan suara bergetar, 836 meninggal, 509 hilang, dan entah berapa ratus nama lagi yang tak sempat diselamatkan.
Lalu kita bertanya: harus berapa nyawa lagi hilang agar negara benar-benar terbangun?
Baca Juga: Polda Sumut Kirim Lima Truk Logistik untuk Korban Bencana di Tapteng dan Sibolga Setiap bencana di negeri ini terasa seperti bab yang sama dalam buku yang tak pernah selesai diperbaiki. Alam meradang, rakyat menjerit, pemerintah datang terlambat, seperti aktor yang salah masuk panggung.
Kita sudah terlalu sering mengubur orang-orang tercinta untuk sekadar menerima nasib sebagai takdir alam. Ini bukan takdir. Ini kelalaian yang diwariskan.
Ketika BBM Lebih Sulit dari Napas
Di saat warga menggigil kedinginan di tenda pengungsian, BBM justru hilang dari SPBU, seolah ikut tenggelam bersama jembatan dan sawah.
Orang antre hingga satu kilometer hanya untuk 1–2 liter bensin, bukan untuk liburan, bukan untuk perjalanan panjang, hanya agar mereka bisa bertahan satu hari lagi.
Apa yang lebih perih dari kehilangan rumah?
Menunggu berjam-jam dalam antrean bahan bakar, sementara ambulans kehabisan daya, dapur umum terpaksa padam, dan bantuan terhenti di tengah jalan.
Di tanah penghasil sawit dan energi, rakyatnya malah mengemis bensin. Ironi kita begitu lengkap.
Kita Memanen Apa yang Kita Tebang