Oleh: Ruben Cornelius Siagian
SISTEM pendidikan tinggi di Indonesia sejatinya dibangun atas asas kesetaraan, meritokrasi, dan pemerataan kesempatan.
Namun, realitas sosial-birokratis menunjukkan ketimpangan yang kian melebar antara dosen Aparatur Sipil Negara (ASN) dan dosen swasta.
Baca Juga: Ribuan PPPK Paruh Waktu di Medan Terima SK, Rico Waas: Tak Ada Bedanya Kadis, ASN, atau Wali Kota! Walaupun keduanya menjalankan tanggungjawab dan Tridarma yang sama, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian, namun penghargaan dan jaminan kesejahteraan yang mereka terima sangat timpang.
Penelitian lapangan dan wawancara mendalam yang dilakukan di tiga provinsi, antara lain Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Riau telah menunjukkan bahwa struktur regulasi dan kebijakan negara masih cenderung berpihak pada dosen ASN. Sementara dosen swasta diperlakukan sebagai pelengkap sistem pendidikan tinggi, bukan sebagai mitra sejajar.
SERTIFIKASI SAMA, PENGHARGAAN TIDAK SAMABaik dosen ASN maupun dosen swasta diwajibkan mengikuti sertifikasi dosen (serdos) sebagai bukti profesionalitas dan kompetensi akademik. Namun, pengakuan formal ini tidak diikuti oleh kesetaraan dalam penghargaan finansial dan karier.
Rancangan Peraturan Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Nomor 23 Tahun 2025 mempertegas kesenjangan tersebut. Regulasi ini memberikan tunjangan kinerja (Tukin) bagi ASN di lingkungan kementerian. Sayangnya, ini tidak mencakup dosen swasta yang memiliki status kepegawaian di bawah yayasan.
"Ini menunjukkan bahwa negara masih mengukur profesionalitas dosen berdasarkan status administratif, bukan kontribusi akademik," ujar Ruben Cornelius Siagian, peneliti CITA.
Padahal, jika kinerja dan beban Tridarma menjadi dasar, seharusnya tunjangan berbasis capaian, bukan status ASN atau non-ASN.
MERITOKRASI DAN KEADILAN DISTRIBUTIFDalam perspektif teori meritokrasi yang dijelaskan pada artikel penelitian yang ditulis oleh Mijs, J. J. (2016), dan keadilan distributif yang ditulis oleh Mishchuk, H., Samoliuk, N., & Bilan, Y. (2019), keadilan sosial tidak dapat diukur semata dari status struktural, tetapi dari distribusi manfaat berdasarkan kontribusi dan kebutuhan.
Teori keadilan distributif Rawlsian menegaskan bahwa, ketimpangan hanya dapat diterima jika memberi keuntungan bagi pihak yang paling kurang beruntung.
Namun, sistem pendidikan tinggi Indonesia justru menunjukkan kebalikannya, bahwa dosen swasta yang posisinya paling rentan tidak mendapatkan afirmasi kebijakan apapun.