Setelah Prabowo Pidato di PBB, lalu Apa?

Redaksi - Sabtu, 11 Oktober 2025 08:14 WIB
Presiden Prabowo Subianto berpidato di Sidang Majelis Umum PBB pada 23 September 2025 (foto: presidenrepublikindonesia/ig)

Oleh:Darmansjah Djumala

PIDATO Presiden Prabowo Subianto di Sidang Majelis Umum PBB pada 23 September 2025 membuka babak baru dalam sejarah diplomasi Indonesia. Untuk pertama kalinya, seorang presiden Indonesia secara terbuka menyatakan kesediaan untuk mengakui Israel. Namun, itu dilakukan dengan syarat Israel harus lebih dahulu mengakui kemerdekaan Palestina. Tawaran resiprositas itu disertai janji Indonesia siap mengirim 20 ribu pasukan perdamaian di bawah bendera PBB guna menjamin keamanan kedua pihak.

Baca Juga: Anies Kritik Soal Transaksional Politik di Kabinet Prabowo, Ini Respons Gerindra

Ada pergeseran dalam politik luar negeri Indonesia. Selama puluhan tahun, Indonesia konsisten menolak hubungan dengan Israel dan mendukung kemerdekaan Palestina. Kini diplomasi Indonesia melangkah lebih jauh. Tak lagi sekadar mendukung resolusi PBB yang 'hanya' mampu mengecam Israel, tapi menawarkan solusi konkret: pengakuan resiprositas dan dukungan keamanan di lapangan. Pernyataan politik itu tak berarti apa-apa tanpa tidak lanjut dalam tataran diplomasi dan aksi. Karena itu, muncul pertanyaan: setelah pidato itu, lalu apa langkah nyata diplomasi Indonesia ke depan?

Kontribusi Indonesia untuk membantu menyelesaikan konflik Israel-Palestina bisa dipindai setidaknya dalam tiga perspekstif. Pertama, dari perspektif politik dan diplomasi. Dukungan politik terhadap Palestina saat ini sudah mencapai 157 negara (lebih dari 80% anggota PBB).

Dalam fatsun diplomasi, pengakuan terhadap eksistensi dan kemerdekaan suatu negara dapat meningkatkan posisi diplomatik dan memberikan tekanan politik-moral kepada pihak yang menolak. Namun, dukungan itu hanya akan 'meninju angin' jika tanpa perubahan sikap anggota Dewan Keamanan (DK) PBB. Untuk menjadi anggota PBB, sebuah negara harus mendapat persetujuan bulat dari lembaga itu.

Di antara lima anggota tetap DK PBB yang memiliki hak veto, kini tinggal AS yang belum mendukung Palestina. Betul bahwa dukungan 157 negara dapat mempertebal legitimasi politik dan moral bagi Palestina. Namun, hambatan utama tetaplah veto AS di DK PBB

Pada titik itulah upaya diplomatik ekstra harus diupayakan. Indonesia sudah telanjur dikenal sebagai bridge builder dalam mempertemukan pihak yang berseberangan di berbagai forum internasional. Dalam pergaulan internasional, terutama di forum PBB, Indonesia menjadi key player dalam penyusunan posisi untuk isu-isu strategis, utamanya di antara negara berkembang.

Tonggak citra positif Indonesia sebagai pembawa suara negara berkembang dan pionir solidaritas negara-negara bekas terjajah tertancap kuat sejak Konferensi Asia-Afrika di Bandung, April 1955. Di Bandung tersimpul benang merah sejarah solidaritas negara berkembang hingga lahirnya Gerakan Nonblok (GNB) di Beograd, 1961.

Pelembagaan GNB di PBB saat ini dilengkapi dengan solidaritas negara berkembang dalam kelompok Global South. Tidak saja dalam keanggotaan, kedua forum itu memiliki visi dan semangat yang sama: menggalang solidaritas dan posisi bersama dalam menghadapi isu-isu strategis di PBB. Jika lembaga GNB dan semangat Global South dimobilisasi secara bersamaan, mereka bisa menjadi dukungan politik yang dahsyat bagi Palestina.

Indonesia sebagai pelopor semangat Asia-Afrika memiliki diplomatic credential untuk berperan sebagai engine of coalition di Global South dan GNB. Koalisi diplomatik itu tidak hanya bisa menambah dukungan bagi Palestina di PBB, tetapi juga untuk membangun moral majority dunia agar tekanan terhadap AS meningkat. Jika itu terjadi, langkah Palestina menuju keanggotaan penuh di PBB semakin terbuka.

Kedua, dari perspektif politik dan keamanan, Israel dan Palestina butuh jaminan keamanan jika nanti tercapai perdamaian. Jika proposal two-state solution disetujui mayoritas anggota PBB dan DK PBB bulat mendukung kemerdekaan Palestina, langkah selanjutnya ialah perundingan soal gencatan senjata, keamanan, dan perbatasan. Jaminan keamanan itu perlu karena bagaimana bisa kedua pihak berunding jika peluru dan mesiu terbang melintas di atas kepala.


Editor
: Adelia Syafitri

Tag:

Berita Terkait

Opini

Pemulihan Pascabencana: Akses Kuala Simpang Kembali Lancar, Distribusi Air Bersih Dimulai

Opini

Kebijakan Impor Beras 2025: Hanya untuk Industri dan Jenis Khusus

Opini

Amnesti Hasto Dipersoalkan Johan Budi: ‘Presiden Jangan Gunakan Pisau Hukum Secara Politik’

Opini

Alfamart Peduli Bencana: Logistik Rp 2 Miliar Disalurkan ke Aceh, Sumut, dan Sumbar

Opini

Solidaritas Nasional: Posko Pondok Cabe Polri Salurkan Bantuan untuk Tiga Provinsi Bencana

Opini

PKS Respons Usulan Bahlil soal Koalisi Permanen: Lebih Baik Fokus Tangani Bencana