MEDAN -Sebuah insiden dramatis mengguncang Bandara Kualanamu, Medan, ketika seorang selebgram terkenal, Cut Melisa, mengamuk di counter check-in maskapai Air Asia. Paspor Cut Melisa, yang mengalami kerusakan ringan, menjadi alasan penolakan keberangkatannya ke luar negeri, memicu pertanyaan besar di kalangan publik: bolehkah maskapai menolak penumpang berdasarkan kondisi fisik paspor?
Peristiwa ini memunculkan gelombang diskusi hangat di media sosial, dengan video kejadian tersebut menjadi viral. Dalam rekaman yang tersebar uas, terlihat Cut Melisa dengan emosi mengarahkan kamera ke seorang petugas check-in bernama Dea, menyalahkan wanita tersebut atas kegagalannya terbang ke Thailand. “Saya dipersulit oleh perempuan bernama Dea. Dia memperlambat tiket saya sampai saya ditinggal pesawat,” ucap Cut Melisa dengan nada marah.
Tapi, apakah penolakan ini sah secara hukum? Menurut penjelasan dari Pemerhati Penerbangan Jaringan Penerbangan Indonesia (Japri) Gerry Soejatman, maskapai memiliki kewenangan untuk menolak penumpang jika paspornya dianggap rusak atau cacat fisik. “Paspor yang bocel saja bisa dianggap tidak sah di negara lain,” tulis Gerry dalam cuitannya, menjelaskan bahwa kecacatan fisik pada paspor dapat menjadi alasan utama penolakan.
Pihak maskapai, seperti yang diungkapkan Gerry, bertanggung jawab jika penumpang dengan paspor yang dicurigai rusak ditolak masuk di negara tujuan. Biaya pemulangan penumpang tersebut pun menjadi tanggung jawab maskapai, bukan imigrasi negara keberangkatan. Namun, penolakan ini tidak hanya bergantung pada keputusan maskapai semata; pihak imigrasi juga memiliki wewenang untuk menentukan validitas paspor.
Dalam kasus Cut Melisa, paspornya yang mengalami lecet tipis menjadi sorotan. Meski diimpor bahwa imigrasi setempat memperbolehkannya untuk terbang, keputusan terlambat dari petugas check-in membuatnya kehilangan kesempatan terbang. Ini menunjukkan betapa pentingnya koordinasi yang efisien antara maskapai dan pihak imigrasi dalam menangani penumpang dengan paspor yang memunculkan keraguan.
Kontroversi ini mencuatkan pertanyaan lebih dalam tentang peraturan yang mengatur kondisi paspor dan kewenangan maskapai dalam menilai keabsahan dokumen perjalanan. Publik menyoroti perlunya transparansi dan pemahaman yang lebih baik tentang prosedur penanganan penumpang di bandara, terutama dalam konteks internasional.
Sementara Cut Melisa mengekspresikan ketidakpuasannya dengan tegas, berbagai pihak mengambil pelajaran dari insiden ini. Diskusi pun terus berlanjut mengenai perlunya standar yang jelas dan konsisten dalam menilai kondisi fisik paspor di seluruh dunia, agar kejadian serupa tidak terulang di masa depan.
Dalam kerumunan berita yang cepat menyebar di media sosial, drama di Bandara Kualanamu menjadi pelajaran berharga tentang kompleksitas dan sensitivitas dalam pengelolaan perjalanan internasional. Perdebatan pun masih berlanjut, sementara publik menantikan pembelajaran dan perbaikan dari pihak terkait untuk mencegah insiden serupa terjadi lagi.
(n/014)