JAKARTA,– Aktivis pecinta alam dari komunitas Top Ranger and Mountain Pathfinder (TRAMP), Dar Edi Yoga, menyampaikan keprihatinan mendalam atas kondisi hutan primer di Indonesia yang masih berada pada tahap kritis.
Ia menegaskan, penurunan angka deforestasi bersih tidak berarti hutan primer aman.
"Di lapangan, kami melihat sendiri bagaimana hutan yang dulu menjadi ruang hidup flora dan fauna kini berubah menjadi area terbuka yang rapuh. Ketika hutan hilang, bencana datang tanpa bisa dicegah," ujar Dar Edi Yoga, Senin (8/12).
Baca Juga: Pekanbaru Bersama Sumut, Salurkan Bantuan Rp1 Miliar untuk Korban Banjir Menurut Yoga, ekspansi perkebunan kelapa sawit, penebangan liar, pembakaran hutan, serta pembangunan infrastruktur dan pertambangan masih menjadi penyebab utama hilangnya jutaan hektare hutan alam.
Dampaknya bukan hanya terhadap ekosistem, tetapi juga terhadap masyarakat, yang semakin rentan terhadap banjir bandang, tanah longsor, hingga krisis air bersih.
Aktivis yang juga mendampingi proses edukasi komunitas akar rumput ini menekankan, hilangnya tutupan hutan memicu kerusakan keanekaragaman hayati.
Satwa endemik kehilangan habitat, sementara flora asli hutan primer terancam punah.
"Penurunan deforestasi bersih jangan membuat publik lengah. Hutan adalah paru dan perisai alami Indonesia. Jika kita gagal menjaganya hari ini, kita sedang menyerahkan generasi berikutnya pada krisis yang kita ciptakan sendiri," tegas Yoga.
Komunitas TRAMP, yang aktif dalam pengamatan ekologi, pendakian konservatif, dan aksi pembersihan jalur gunung, siap memperluas kolaborasi dengan masyarakat, pemerintah, dan dunia usaha.
Tujuannya memastikan upaya perlindungan hutan primer berjalan efektif dan berkelanjutan.
Dar Edi Yoga menutup dengan ajakan agar seluruh pihak memperlakukan hutan bukan sekadar komoditas, tetapi warisan hidup yang wajib dijaga bersama.*
(dh)