BLORA — Menteri Imigrasi dan Permasyarakatan (Imipas), Agus Andrianto, membeberkan asal-usul gagasan penguatan ketahanan pangan di lembaga pemasyarakatan.
Program itu, menurut Agus, bermula dari temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengenai banyaknya lahan idle di lingkungan Imigrasi dan Permasyarakatan yang tidak dimanfaatkan secara optimal.
"Ketika kami masuk, kami dihadapkan dengan temuan BPK. Banyak lahan idle yang tidak kita manfaatkan. Karena kita kementerian baru, kita melakukan audit kesehatan organisasi untuk mengetahui kelemahan dan kendalanya," kata Agus dalam pembekalan ketahanan pangan kepada perangkat desa, aparat keamanan desa, dan kelompok tani di Pendopo Bupati Blora, Jawa Tengah, Sabtu, 29 November 2025.
Baca Juga: Kementerian PU Salurkan Air Bersih ke 90.000 Warga Terdampak Banjir Pidie Jaya Agus mengatakan penyelesaian temuan BPK itu kemudian diselaraskan dengan visi Presiden Prabowo Subianto yang menempatkan ketahanan pangan sebagai prioritas nasional."Bapak Presiden sudah memberi arah. Maka kita semua pembantunya harus mengikuti orientasi tersebut," ujarnya.
Program ketahanan pangan, kata Agus, kemudian dikembangkan di lingkungan pemasyarakatan melalui pemanfaatan lahan kosong.
Meski beberapa lapas memiliki area terbatas, unit pelayanan teknis tetap didorong berpartisipasi melalui budidaya skala kecil, seperti tanaman polybag hingga kolam lele.
Agus menjelaskan hasil produksi pangan lapas akan diserap oleh pihak ketiga yang menjadi pemasok kebutuhan makanan para warga binaan.
Setiap vendor diwajibkan menyerap minimal lima persen hasil pertanian lapas."Yang lima persen hasilnya wajib diambil oleh penyedia bahan makanan," kata Agus.
Model serapan itu, menurut Agus, memberi nilai ekonomi bagi lapas dan para warga binaan yang turut bekerja dalam program tersebut.
Pendapatan dari penyerapan hasil kemudian dibagi untuk kesejahteraan petugas dan narapidana.
Dalam penunjukan penyedia bahan makanan lapas, Agus mewajibkan perusahaan lokal menjadi prioritas.
Tujuannya untuk menggerakkan UMKM sekaligus menghindari dominasi vendor besar yang sebelumnya mengelola suplai makanan lintas provinsi."Bahan makanan harus dikelola pelaku usaha lokal. Bukan terpusat di Jakarta," ujarnya.