JAKARTA- Gugatan lima mahasiswa terhadap Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) membuka perdebatan mengenai hak rakyat untuk mengoreksi anggota parlemen di tengah masa jabatan.
Gugatan tersebut diajukan oleh Ahmad Rizky Akbar, Nadya Pramesti, Bagus Wirayudha, Citra Maharani, dan Leonardus Ardi Prakoso, yang meminta Mahkamah Konstitusi menafsirkan ulang mekanisme Pergantian Antarwaktu (PAW) anggota DPR.
Direktur Jakarta Institute, Agung Nugroho, menilai inisiatif ini penting karena menyentuh masalah mendasar dalam demokrasi Indonesia.
Baca Juga: Mahasiswa Minta Rakyat Bisa Memberhentikan Anggota DPR: Uji Materi UU MD3 di MK "Sejauh mana rakyat memiliki kontrol terhadap wakil yang mereka pilih? Selama ini, setelah pemilu selesai, ruang partisipasi politik warga mengecil drastis. Rakyat hanya menjadi penonton, sementara partai politik memegang kendali penuh atas nasib kader yang duduk di parlemen," ujar Agung, Minggu (23/11).
Menurut Agung, mekanisme PAW yang sepenuhnya berada di tangan partai politik mengurangi akuntabilitas publik.
Ketika seorang anggota DPR terlibat pelanggaran etika, mengabaikan konstituen, atau menunjukkan konflik kepentingan, masyarakat tidak memiliki saluran formal untuk memberikan koreksi.
Ia menekankan, gagasan mahasiswa ini bukan untuk melemahkan partai politik, melainkan untuk memperkuat kualitas demokrasi.
"Dengan membuka ruang bagi konstituen untuk mengusulkan PAW, hubungan antara wakil rakyat dan rakyat sebagai pemilih akan kembali diperdalam," kata Agung.
Agung menambahkan bahwa kekhawatiran mekanisme ini disalahgunakan dapat diantisipasi melalui prosedur yang ketat, berbasis bukti, dan mekanisme verifikasi independen, termasuk batas ambang dukungan dan prosedur etik untuk menjaga stabilitas politik.*
(v/um)