JAKARTA, – Ancaman terorisme di Indonesia kini merambah ruang yang paling dekat dengan keseharian anak-anak: dunia maya.
Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror Polri mencatat, sedikitnya 110 anak berusia 10–18 tahun di 23 provinsi telah menjadi korban perekrutan jaringan teroris melalui media sosial dan game online.
Baca Juga: Densus 88 Tangkap 5 Tersangka Rekrutmen Anak ke Jaringan Terorisme, Satu Berasal dari Medan! Fenomena ini menunjukkan pergeseran strategi kelompok radikal.
Mereka kini menyasar kerentanan psikologis generasi muda, memanfaatkan rasa kesepian, perundungan, dan kurangnya perhatian orang tua.Dalam setahun terakhir, Densus 88 menangkap lima perekrut daring, dengan penindakan terakhir terjadi pada Senin, 17 November 2025.
Modus operandi mereka sistematis: awalnya menyebarkan propaganda melalui platform terbuka—Facebook, Instagram, dan fitur obrolan game online—dengan konten menarik berupa video pendek, meme, animasi, dan musik.
Setelah menemukan target potensial, komunikasi dipindahkan ke jalur tertutup seperti WhatsApp dan Telegram, di mana indoktrinasi lebih intens dilakukan, sering tanpa pertemuan fisik.
Kasus terbaru menegaskan risiko ini.
Pada 24 Mei 2025, seorang remaja berinisial M (18) ditangkap di Gowa, Sulawesi Selatan, karena aktif menyebarkan propaganda ISIS.
Lebih tragis, pada 7 November 2025, seorang siswa SMAN 72 Jakarta Utara berinisial F nekat meledakkan bom rakitan di sekolahnya, melukai 96 orang. F bukan anggota jaringan teroris, namun motifnya muncul dari rasa kesepian akibat perundungan.
Ia belajar merakit bom dari situs gelap dan komunitas daring, menunjukkan mudahnya akses konten berbahaya bagi anak rentan.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (
KPAI) menekankan, anak yang terjerat jaringan terorisme harus diperlakukan sebagai korban, dengan pendekatan keadilan restoratif sesuai Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (
SPPA).