BITVONLINE.COM -Penerapan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen pada barang mewah secara selektif dinilai tidak akan memberikan dampak signifikan terhadap penerimaan negara. Para pengamat pajak mengungkapkan bahwa meskipun tarif ini diterapkan, dampaknya terhadap sektor ekonomi dan penerimaan negara akan terbatas.
Pengamat pajak Prianto Budi Saptono menyatakan bahwa kontribusi Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) selama ini juga tidak signifikan. Oleh karena itu, ia menilai bahwa peningkatan tarif PPN pada barang mewah pun tidak akan memberikan kontribusi besar terhadap penerimaan negara. “Porsi setoran PPnBM di APBN itu tidak signifikan. Dengan demikian, porsi peningkatan PPN dengan tarif 12 persen juga tidak akan signifikan,” ujar Prianto, Jumat (6/12).
Prianto juga menjelaskan bahwa konsumen barang mewah umumnya bukan berasal dari kalangan masyarakat mayoritas, melainkan kalangan dengan penghasilan yang memadai. Oleh karena itu, kenaikan tarif PPN tersebut tidak akan berdampak besar terhadap daya beli masyarakat umum. “Peningkatan tarif PPN tersebut juga tidak akan berdampak pada daya beli karena konsumen barang yang dikategorikan barang mewah dan terkena PPnBM itu bukan masyarakat kebanyakan,” tambahnya.
Selama ini, barang mewah telah dikenakan PPnBM dan juga merupakan objek yang dikenakan PPN. Menurut Prianto, setiap barang yang dikenakan PPnBM juga pasti akan dikenakan PPN, meskipun tidak semua objek PPN menjadi objek PPnBM. “Semua objek PPnBM pasti menjadi objek PPN. Tapi tidak semua objek PPN menjadi objek PPnBM,” jelasnya.
Penentuan barang yang termasuk dalam kategori barang mewah yang dikenakan PPnBM, lanjut Prianto, mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK), bukan pada persepsi masyarakat tentang kemewahan barang tersebut. Barang yang dikenakan PPnBM, meskipun dianggap mewah oleh masyarakat, harus sesuai dengan kriteria dalam peraturan yang berlaku.
Senada dengan Prianto, Fajry Akbar, pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), mengungkapkan bahwa jika penerapan PPN 12 persen hanya berlaku untuk barang mewah yang selama ini sudah dikenakan PPnBM, maka dampaknya terhadap penerimaan negara akan sangat kecil. “Jika kenaikan hanya pada objek yang selama ini kena PPnBM maka kenaikannya dilakukan secara sempit. Salah satu konsekuensinya adalah potensi penerimaan yang semakin kecil,” ujar Fajry.
Fajry memperkirakan bahwa potensi penerimaan negara dari penerapan PPN 12 persen pada barang mewah yang terkena PPnBM hanya sekitar Rp 1,7 triliun. Oleh karena itu, ia menyarankan agar pemerintah lebih baik menaikkan tarif PPnBM untuk meningkatkan penerimaan negara. “Jika kenaikan tarif PPN hanya berlaku pada objek PPnBM saja, bukankah lebih baik jika Pemerintah menaikkan tarif PPnBM saja? Ini menjadi pertanyaan besar, terlebih kenaikan tarif PPnBM bisa dinaikkan lebih dari 1 persen,” jelas Fajry.
Dengan adanya pertimbangan tersebut, para pengamat mengingatkan bahwa langkah untuk meningkatkan penerimaan negara melalui pajak barang mewah perlu dilakukan dengan pendekatan yang lebih luas dan hati-hati agar dapat memberikan dampak yang signifikan bagi pendanaan program-program pemerintah.
(N/014)