JAKARTA – Fenomena tuyul dan babi ngepet telah lama menjadi bagian dari cerita mistis masyarakat Indonesia.
Sosok makhluk astral ini dipercaya mampu mencuri uang dan mendatangkan kekayaan secara instan bagi pemiliknya.
Namun, satu pertanyaan klasik yang selalu muncul adalah: mengapa tuyul dan babi ngepet tidak mencuri uang di bank?
Meski jawabannya sering dikaitkan dengan ranah mistis, sejumlah kajian sejarah dan sosial memberikan penjelasan lebih rasional terhadap kepercayaan ini.
Dalam bukunya Ekonomi Indonesia 1800–2010, sejarawan Jan Luiten van Zanden dan Daan Marks mengungkap bahwa liberalisasi ekonomi pada 1870 menjadi titik balik struktur sosial di Indonesia, terutama di Jawa.
Perkebunan rakyat diambil alih dan dijadikan pabrik-pabrik gula, membuat petani kecil kehilangan lahan dan penghidupan.
Pada saat bersamaan, lahir kalangan orang kaya baru dari kelompok pedagang pribumi dan Tionghoa.
Ketika para petani hidup dalam keterpurukan, mereka menyaksikan sebagian kecil masyarakat mendadak makmur tanpa proses kerja keras yang terlihat.
Inilah yang melahirkan kecemburuan sosial, sekaligus menumbuhkan mitos bahwa kekayaan instan itu diperoleh lewat perjanjian gaib, yakni melalui pemeliharaan tuyul atau babi ngepet.
Sejarawan Ong Hok Ham dalam Dari Soal Priayi Sampai Nyi Blorong (2002) mencatat bahwa tuduhan terhadap orang kaya karena bersekutu dengan makhluk halus membuat status sosial mereka terpuruk.
Mereka dianggap hina dan tidak layak dihormati, meskipun sukses secara ekonomi.
Tuduhan ini begitu mengakar dalam budaya lokal, hingga akhirnya menghidupkan legenda tuyul dan babi ngepet sebagai simbol kekayaan haram, dan stigma ini terus melekat hingga kini.