JAKARTA -Gorengan, makanan dengan tekstur renyah, gurih, dan harga terjangkau, sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya kuliner Indonesia.
Dari Sabang hingga Merauke, camilan ini selalu menggoda selera masyarakat Indonesia.
Berbagai jenis gorengan seperti tahu isi, bakwan, tempe mendoan, hingga pisang goreng mudah ditemukan di warung-warung, pedagang kaki lima, hingga restoran.
Gorengan dikenal dengan rasanya yang lezat dan harga yang ramah di kantong, sehingga tak heran jika makanan ini menjadi pilihan favorit bagi banyak orang.
Mulai dari pagi hari, di mana banyak orang menikmati gorengan bersama secangkir teh atau kopi, hingga sore hari ketika gorengan menjadi teman obrolan santai bersama keluarga atau sahabat.
Bahkan, dalam berbagai acara, baik itu hajatan hingga rapat kantor, gorengan hampir selalu hadir sebagai hidangan pendamping.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, Kabupaten Brebes menjadi wilayah dengan konsumsi gorengan tertinggi, dengan rata-rata konsumsi mencapai 4.620 gorengan per kapita dalam seminggu.
Kabupaten Muara Enim dan Serang masing-masing mengonsumsi 3.880 dan 3.790 gorengan per kapita dalam periode yang sama.
Meskipun demikian, konsumsi gorengan yang berlebihan perlu diwaspadai.
Konsumsi berlebihan gorengan dapat meningkatkan risiko gangguan kesehatan, mengingat proses penggorengan yang menggunakan minyak berulang kali.
Hal ini dapat menghasilkan lemak trans yang berbahaya bagi tubuh, meningkatkan kadar kolesterol jahat (LDL), dan menurunkan kolesterol baik (HDL), yang berisiko menyebabkan penyakit jantung dan stroke.