JAKARTA – Keputusan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menunda penerapan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) untuk tahun 2026 mendapat sorotan tajam dari pakar kesehatan.
Penundaan ini dianggap berisiko bagi peningkatan penyakit tidak menular, termasuk obesitas, diabetes tipe 2, dan komplikasi kesehatan jangka panjang.
Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) menegaskan, konsumsi minuman manis di Indonesia sudah berada pada level mengkhawatirkan.
Baca Juga: Purbaya Ungkap Kemajuan Bea Cukai: Scanner Canggih dan AI Siap Beroperasi di Tanjung Priok Berdasarkan data Susenas 2024, 68,1 persen rumah tangga atau sekitar 93,5 juta rumah tangga tercatat mengonsumsi MBDK.
Sementara laporan Survei Kesehatan Indonesia 2023 menunjukkan hampir setengah populasi berusia tiga tahun ke atas mengonsumsi minuman manis lebih dari sekali sehari.
"Keputusan pemerintah menunda cukai MBDK untuk mengejar pertumbuhan ekonomi 6 persen sangat disayangkan. Minuman berpemanis bukan kebutuhan pokok masyarakat dan justru menjadi risiko beban kesehatan jangka panjang," ujar Nida Adzilah Auliani, Project Lead for Food Policy CISDI, Rabu (17/12/2025).
CISDI juga menyebut, jika cukai MBDK diterapkan, negara berpotensi menghemat biaya pengobatan diabetes tipe 2 hingga Rp 24,9 triliun serta mengurangi kerugian ekonomi akibat hilangnya produktivitas sebesar Rp 15,7 triliun.
Secara keseluruhan, berdasarkan perhitungan Disability-Adjusted Life Years (DALYs), penundaan cukai minuman manis berpotensi menimbulkan kerugian negara hingga Rp 40,6 triliun.
"Jika dihitung bersama penyakit tidak menular lainnya, dampak kesehatan dan ekonomi akibat penundaan ini dipastikan jauh lebih besar," tambah Nida.
Keputusan penundaan ini menambah panjang daftar kebijakan yang menunda pengenaan cukai minuman manis di Indonesia sejak kajian pertama pada 2016.
Pakar menilai langkah ini kontraproduktif terhadap upaya pencegahan penyakit kronis di masyarakat.*
(d/dh)