JAKARTA -Wakil Direktur Imparsial, Hussein Ahmad, menyampaikan pendapatnya terkait revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam konferensi pers bertajuk "Revisi UU TNI Menghidupkan Dwifungsi" pada Kamis (6/3/2025).
Dalam acara tersebut, Hussein menekankan pentingnya kesejahteraan prajurit TNI dan mengkritik usulan penghapusan larangan bagi prajurit untuk berbisnis.
Menurut Hussein, kesejahteraan prajurit harus diperhatikan secara serius, bukan justru mendorong mereka untuk terlibat dalam bisnis sampingan, seperti ojek online atau jualan sayur.
"Kalau prajurit di lapangan sampai harus ngojek atau jual sayur, berarti ada masalah soal kesejahteraan. Siapa yang bertanggung jawab soal itu? Ya Panglima TNI," ungkap Hussein.
Hussein mengkritik pandangan yang menganggap bahwa mengizinkan prajurit berbisnis adalah solusi atas masalah kesejahteraan mereka.
"Alasannya katanya kasihan prajurit di lapangan, karena ada yang ngojek, ada yang jual sayur, sehingga larangan berbisnisnya harus dihapus. Ini cara pandang yang keliru," tegasnya.
Menurutnya, seharusnya jika prajurit tidak sejahtera, pemerintah dan aparat yang bertanggung jawab harus memenuhi kebutuhan kesejahteraan mereka agar bisa fokus pada tugasnya sebagai alat pertahanan negara.
Pernyataan Hussein ini berbanding terbalik dengan pendapat beberapa pihak lain, seperti Mayjen TNI (Purn) Rodon Pedrason, yang mendukung penghapusan larangan berbisnis bagi prajurit, terutama bintara dan tamtama.
Rodon mengungkapkan bahwa uang pensiunan yang diterima prajurit setelah pensiun hanya sekitar 70% dari gaji pokok mereka, yang dirasa tidak cukup untuk mencukupi kebutuhan hidup.
Ia mencontohkan mantan anggota TNI yang berbisnis setelah pensiun, seperti membuka usaha bakso, untuk menghidupi keluarganya.
Revisi UU TNI ini mencakup beberapa poin penting, termasuk usia pensiun, pengisian jabatan sipil oleh anggota TNI, dan pengaturan larangan berbisnis.