JAKARTA – Menteri Lingkungan Hidup (LH) sekaligus Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH), Hanif Faisol Nurofiq, menegaskan bahwa banjir bandang di Aceh Timur bukan sekadar peristiwa alam.
Peninjauan langsung ke wilayah terdampak menunjukkan kondisi hulu sungai terdegradasi parah dan indikasi kuat adanya aktivitas ilegal seperti penyerobotan kawasan hutan untuk perkebunan sawit dan pertambangan.
Dalam peninjauan udara yang melintasi Tusam, Lhokseumawe, Langsa, hingga Aceh Tamiang, Hanif menemukan alur sungai yang melebar tidak wajar, jejak longsor, serta bukit dengan kemiringan ekstrem di atas 45 derajat yang telah diubah fungsinya untuk aktivitas ilegal.
Baca Juga: Kementerian PU Targetkan Jalur Aceh Tengah–Gayo Lues Kembali Fungsional Hari Ini "Kami datang bukan hanya untuk melihat, tetapi memastikan negara hadir bagi masyarakat terdampak. Keselamatan rakyat adalah yang utama, dan lingkungan yang rusak tidak boleh terus dibiarkan," kata Hanif, Senin (15/12).
Praktik ilegal tersebut, menurut Menteri Hanif, menghilangkan fungsi hutan sebagai pengendali tata air alami, meningkatkan risiko bencana hidrometeorologi, dan membahayakan nyawa warga yang tinggal di hilir.
Ia menegaskan, tidak ada toleransi bagi pelanggaran lingkungan.
"Siapa pun yang terbukti melanggar akan kami tindak tegas sesuai hukum yang berlaku," ujarnya.
Menindaklanjuti temuan lapangan, KLH/BPLH segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap dampak kerusakan hutan dan lahan di wilayah terdampak.
Evaluasi ini mencakup kondisi hutan, DAS, dan perubahan tata guna lahan yang berkontribusi pada risiko bencana.
Beberapa korporasi yang diduga melakukan aktivitas ilegal akan ditindak tegas melalui penegakan hukum.
Menteri Hanif menekankan bahwa penambangan dan perkebunan ilegal di lereng bukit ekstrem bukan hanya merusak ekosistem, tapi juga memicu bencana bagi masyarakat di hilir.
Sungai yang seharusnya menjadi penyangga alami kini terlihat terbuka dan rentan terhadap longsor serta banjir bandang.