JAKARTA – Advokat Syamsul Jahidin, yang sebelumnya menggugat Undang-Undang Polri ke Mahkamah Konstitusi (MK), menilai Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 yang memungkinkan anggota Polri menempati 17 jabatan di kementerian dan lembaga sipil bertentangan dengan prinsip konstitusi.
"Rakyat itu sebenarnya sederhana, Anda (Polri) bertugas sesuai Undang-Undang Dasar," kata Syamsul, Jumat (12/12).
Ia menekankan bahwa tugas Polri adalah melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, dan menegakkan hukum, sebagaimana tertulis dalam Pasal 30 Ayat (4) UUD 1945.
Baca Juga: Banjir Mengubah Desa Jadi Lautan Kayu, Pemerintah Aceh Sebut Bisa Jadi Bukti Hukum Lingkungan Menurut Syamsul, jika polisi menjalankan tugasnya di ranah sipil, hal ini berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan menodai kredibilitas lembaga.
"Tidak ada wartawan yang dikriminalisasi. Tidak ada aktivis yang dikriminalisasi. Tidak ada orang yang dimarginalkan," lanjutnya.
Perpol 10/2025 mengatur bahwa anggota Polri aktif dapat menempati jabatan di 17 kementerian/lembaga, termasuk Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Kelautan dan Perikanan, hingga Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 2 menyatakan tugas dapat dilakukan di dalam maupun luar negeri, sementara Pasal 3 menegaskan jabatan hanya boleh ditempati setelah melepas posisi di institusi Polri.
Syamsul menegaskan, polisi bukan Aparatur Sipil Negara (ASN) sehingga tidak seharusnya menduduki jabatan sipil.
Menurutnya, peraturan ini berisiko menimbulkan praktik "parcok" atau partai cokelat yang melibatkan aparat kepolisian dalam struktur sipil.
"Kami ingin Polri fokus pada tugas pokok dan fungsinya. Jangan sampai ada pelanggaran hukum yang dilakukan oleh penegak hukum itu sendiri," ujar Syamsul.
Langkah ini datang di tengah sorotan publik mengenai peran polisi di luar struktur organisasi Polri, yang dianggap menabrak putusan MK sebelumnya.*