JAKARTA -Bandara Soekarno-Hatta menjadi saksi bisu dari skandal penyelundupan calon Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang terjadi baru-baru ini. Sembilan orang calon TKI ini diamankan saat hendak melakukan perjalanan ke Malaysia dengan tujuan akhir ke Serbia. Namun, dibalik niat mereka untuk mencari penghidupan yang lebih baik, terungkaplah praktik penipuan yang memilukan.
Kasat Reskrim Polresta Bandara Soekarno-Hatta, Kompol Reza Fahlevi, mengungkapkan bahwa sembilan calon TKI tersebut dijanjikan gaji yang menggiurkan, antara Rp 7 juta hingga Rp 20 juta per bulan, oleh tersangka J untuk bekerja di pabrik kayu/meubel/furniture di Serbia. Namun, kenyataannya, mereka terjerat dalam permainan penipuan yang merugikan.
Dalam penanganan kasus ini, polisi telah menetapkan tiga orang sebagai tersangka, yaitu FP, J, dan seorang perempuan dengan inisial WPB. Kasus ini terungkap berkat informasi tentang keberangkatan sepuluh WNI ke Malaysia dengan tujuan akhir ke Serbia untuk bekerja secara non-prosedural. Dari hasil penyelidikan, terungkaplah peran masing-masing tersangka dalam kasus ini.
FP, yang berperan sebagai kurir, bertugas menyerahkan sembilan calon TKI kepada agen di Serbia. Sementara itu, J, sebagai otak di balik praktik penipuan ini, berperan mengantar sembilan calon TKI ke Bandara Soetta, memberikan pekerjaan kepada FP, mengurus booking hotel dan tiket kepulangan, serta mendapatkan fee sebesar Rp 10-15 juta atas perannya tersebut. Sedangkan WPB, yang menjadi penghubung ke agen di Serbia, juga mendapatkan fee sebesar Rp 10 juta per calon TKI.
Kasus ini menjadi sorotan karena melibatkan praktik penipuan yang memanfaatkan kerentanan dan kebutuhan ekonomi para calon TKI. Dibalik janji palsu yang diucapkan, tersingkaplah ketidakadilan dan eksploitasi yang mereka alami. Hal ini juga memunculkan pertanyaan tentang peran pemerintah dalam melindungi warga negara dari praktik penipuan semacam ini.
Tindakan tegas dari pihak berwajib dalam menangani kasus ini merupakan langkah awal untuk memberikan keadilan bagi para korban. Namun, upaya preventif dan perlindungan yang lebih baik juga harus menjadi perhatian serius, agar kasus serupa tidak terulang di masa depan.
(K/09)