JAKARTA , – Penetapan rentang nilai alpha (α) sebesar 0,5–0,9 dalam Peraturan Pemerintah tentang Pengupahan dinilai dunia usaha belum sepenuhnya sesuai dengan kondisi riil industri.
Hal ini terungkap dalam dialog sosial tripartit yang digelar Dewan Pengupahan Nasional (Depenas).
Dunia usaha mengusulkan agar nilai alpha berada pada kisaran 0,1–0,5 dengan pendekatan lebih proporsional, mempertimbangkan keseimbangan antara kebutuhan hidup layak (KHL) dan kemampuan sektor industri.
Baca Juga: Baznas, MUI, dan Pengajian Akbar Kota Padangsidimpuan Salurkan Bantuan untuk Korban Banjir di Hutaimbaru Selain itu, disarankan penerapan nilai alpha berbeda antar daerah, menyesuaikan rasio upah minimum terhadap KHL, untuk menghindari disparitas wilayah sekaligus menjaga keberlanjutan usaha.
Ketua Umum APINDO sekaligus Wakil Ketua Umum Koordinator Bidang Pembangunan Manusia, Kebudayaan, dan Pembangunan Berkelanjutan KADIN Indonesia, Shinta W.
Kamdani, menekankan tekanan signifikan yang dihadapi dunia usaha, terutama sektor tekstil, alas kaki, furnitur, karet, plastik, dan otomotif, yang pertumbuhannya di bawah rata-rata ekonomi nasional atau bahkan mengalami kontraksi.
"Dunia usaha memahami tujuan fundamental kebijakan pengupahan untuk melindungi pekerja dan menjaga daya beli masyarakat. Namun, kebijakan tersebut harus dijalankan secara hati-hati agar selaras dengan kemampuan usaha dan kondisi ketenagakerjaan di setiap daerah," ujar Shinta.
Shinta menambahkan tantangan struktural ketenagakerjaan Indonesia masih besar.
Saat ini, pengangguran mencapai sekitar 7,47 juta orang, setengah menganggur 11,56 juta orang, dan lebih dari 60 persen pekerja berada di sektor informal yang minim perlindungan.
Menurutnya, pengaturan pengupahan harus dirancang agar memperkuat daya tahan dunia usaha dan mendorong terciptanya lapangan kerja formal yang berkelanjutan.*
(dh)