JAKARTA - Pengenaan tarif resiprokal sebesar 32 persen oleh Pemerintah Amerika Serikat (AS) terhadap produk impor asal Indonesia dinilai sebagai peluang strategis untuk memperkuat industri obat berbahan alam dalam negeri.
Hal ini disampaikan oleh Kepala Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri (BSKJI) Kementerian Perindustrian, Andi Rizaldi, saat ditemui di Jakarta, Jumat (11/7).
Andi menyebut, saat ini bahan baku farmasi nasional masih didominasi impor, sehingga kondisi tarif tinggi dari AS harus dimanfaatkan sebagai momentum untuk mengembangkan jamu, herbal terstandar, dan fitofarmaka berbasis potensi lokal.
"Kami melihat justru itu adalah peluang dalam kondisi seperti ini," ujar Andi Rizaldi.
Indonesia Punya Potensi Besar di Obat Bahan Alam
Indonesia memiliki pasar domestik yang kuat dengan 23.576 jenis obat bahan alam, terdiri dari 23.000 jamu, 77 obat herbal terstandar, dan 20 fitofarmaka. Melalui penguatan sektor ini, pemerintah ingin mendorong kemandirian farmasi nasional serta meningkatkan nilai tambah sektor industri kesehatan berbasis kearifan lokal.
Dukungan untuk IKM dan Sertifikasi
Kemenperin menargetkan pengusaha industri kecil dan menengah (IKM) sebagai prioritas pembinaan. Salah satu bentuk dukungannya adalah membantu IKM dalam proses sertifikasi produk dan fasilitas produksi, agar mampu bersaing di pasar global.
"Kita ingin menyisir skala yang lebih kecil karena mereka mungkin ada keterbatasan yang harus kita dukung," jelas Andi.
Ekspor Obat Bahan Alam Tembus Rp10,37 Triliun
Data Kemenperin mencatat, nilai ekspor industri obat bahan alam selama Januari hingga September 2024 telah mencapai USD 639,42 juta atau setara Rp10,37 triliun (kurs Rp16.224). Ini menunjukkan tren ekspansi positif dan prospek cerah untuk pasar global.
Fasilitas Produksi Diperkuat Lewat House of Wellness