JAKARTA -Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi mengesahkan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang menuai kontroversi.
Sejumlah pihak menilai bahwa regulasi baru ini berpotensi mengancam demokrasi dan hanya menguntungkan kalangan perwira tinggi di tubuh TNI.
UU TNI yang baru disahkan ini mengandung beberapa perubahan signifikan, termasuk perluasan peran militer dalam kehidupan sipil dan peningkatan kesejahteraan bagi perwira TNI.
Salah satu poin yang paling disoroti adalah adanya pasal yang memungkinkan perwira aktif menduduki jabatan di institusi sipil tanpa harus pensiun terlebih dahulu.
Langkah ini dinilai bertentangan dengan prinsip supremasi sipil dan dapat membuka ruang bagi militerisasi pemerintahan.
"UU ini berbahaya bagi demokrasi karena berpotensi mengembalikan dwifungsi ABRI dalam bentuk yang lebih halus.
Kita harus ingat bahwa reformasi 1998 bertujuan untuk mengembalikan militer ke fungsi pertahanan negara, bukan politik atau birokrasi sipil," ujar Asep Nurdin, Anggota Persaudaraan Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND).
Selain itu, Asep menambahkan. Revisi ini juga menitikberatkan pada peningkatan tunjangan dan fasilitas bagi perwira tinggi TNI, sementara prajurit di tingkat bawah tidak mendapatkan peningkatan kesejahteraan yang signifikan.
Hal ini menuai kritik dari berbagai kalangan yang menilai bahwa kebijakan ini tidak adil dan hanya menguntungkan segelintir elit militer.
"Kami menyesalkan bahwa UU ini lebih condong mengakomodir kepentingan perwira tinggi dibandingkan kesejahteraan prajurit yang bertugas di lapangan. Seharusnya, prioritas utama adalah memperbaiki sistem kesejahteraan bagi seluruh anggota TNI, bukan hanya kalangan atas," ungkap Asep.
Di sisi lain, pihak pemerintah berdalih bahwa perubahan ini bertujuan untuk meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan prajurit secara keseluruhan.
Menteri Pertahanan menyatakan bahwa kebijakan ini justru akan memperkuat peran TNI dalam menjaga stabilitas nasional dan mempercepat modernisasi militer.